Chairil Anwar, Sang Penyair Legendaris
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922.
Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati
Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra
Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih
punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapaknya
bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA,
Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School
(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda.
Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum
lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi
awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian
orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan
dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai
bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya
dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M.
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du
Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan
neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam
hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat
neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar
biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling
Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Toeloes, di depan sang
Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil
acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya.
Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang
kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil
pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam
suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan
hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap,
menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera
setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, pada saat itu
dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis
merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta
jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah
selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun
1945.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang
diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil
Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950,
kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan
mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa
Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin
dari sajaknya bertajuk: Krawang-Bekasi, yang disadurnya dari sajak The Young
Dead Soldiers, karya Archibald MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak Persetujuan dengan Bung
Karno, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan sajaknya yang berjudul Aku dan Diponegoro
juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang
jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia
untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai Si Binatang
Jalang (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan 45 yang
menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat
lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi
modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC
dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya
diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan
MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu
puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( Aku mau
hidup Seribu Tahun lagi!). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya
sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang
budaya Siasat
Gelanggang
dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka (1946).
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang Chairil
Anwar. Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak
mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah.
Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat
nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang
dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam
puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah
menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan
kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta
cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi
kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut.
Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah
penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia
dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi
oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu
diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Kumpulan
puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949);
Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai
Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949″, diedit oleh
Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai
Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini
Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si
Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Sementara
karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol
adalah: Sharp gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley,
California, 1960); Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Walujati (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh
Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); Only Dust:
Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]:
Papua Pocket Poets, 1969);
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar,
disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New
York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan
diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore:
University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte,
Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice
of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel
(Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies, 1993)
Sedangkan
karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil
Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian
Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan
(Djakarta, 1953);
2) Boen
S. Oemarjati, Chairil Anwar: The Poet and his Language (Den Haag: Martinus
Nijhoff, 1972);
3) Abdul
Kadir Bakar, Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar (Ujung
Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra,
Universitas Hasanuddin, 1974);
4) S.U.S.
Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar
(New York, 1976);
5)
Arief
Budiman, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);
6) Robin
Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland,
1976;
7) H.B.
Jassin, Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45, disertai kumpulan hasil tulisannya,
(Jakarta: Gunung Agung, 1983);
8)
Husain
Junus, Gaya bahasa Chairil Anwar (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984);
9) Rachmat
Djoko Pradopo, Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985);
10) Sjumandjaya,
Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta:
Grafitipers, 1987);
11)
Pamusuk
Eneste, Mengenal Chairil Anwar (Jakarta: Obor, 1995);
12)
Zaenal
Hakim, Edisi kritis puisi Chairil Anwar (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).
RISMAWATI
PUTRI/ X MIPA 2/ 28
Komentar
Posting Komentar